skip to main | skip to sidebar

Selasa, 28 Agustus 2012

Ragu Dalam Sholat…, Solusinya ?

0 komentar

Tidak jarang disaat kita melaksanakan sholat, baik dalam keadaan sholat, maupun sudah selesai salam, timbul rasa keraguan dalam hati kita. Keraguan tersebut bisa berupa lupa jumlah raka`at yang telah dikerjakan (tertambah ataupun terkurangi), lupa tasyahhud awal, ragu saat sholat sedang berada di raka`at keberapa dan lain sebagainya. Apabila hal ini terjadi pada kita, jangan risau maupun bingung apalagi mengada-adakan sesuatu ataupun mengarang-ngarangnya. Sebab telah ada sunnah yang telah dicontohkan Rasululloh Shalallahu alaihi wasallam kepada kita tentang hal ini. Mau tahu…? Silahkan simak penjelasannya di bawah ini…
Kasus 1
Apabila seseorang lupa dalam sholatnya, sehingga tertambah 1 kali ruku` atau 1 kali sujud atau 1 kali berdiri atau 1 kali duduk, maka orang tersebut harus meneruskan sholatnya sampai salam, untuk selanjutnya melaksanakan sujud sahwi (dua kali sujud), lalu salam kembali.
Contohnya:
Apabila seseorang melaksanakan sholat Dzuhur, kemudian dia berdiri untuk raka`at ke lima (ke-5), tiba-tiba ia ingat ataupun diingatkan orang lain, maka ia harus duduk kembali TANPA TAKBIR, lalu membaca tasyahhud akhir dan salam, kemudian ia sujud sahwi (dua kali sujud) lalu salam kembali.  Apabila orang tersebut mengetahuinya (tambahan tadi) setelah selesai sholat, maka ia tetap harus sujud sahwi dan salam kembali.
Kasus 2
Apabila seseorang salam sebelum sempurna sholatnya karena lupa, namun tidak lama berselang setelah salam tersebut tiba-tiba ia ingat ataupun diingatkan orang lain dengan catatan lama waktu ia teringat atau diingatkan tersebut kira-kira sama dengan lamanya dia sholat (mulai sholat sampai salam) maka ia harus menyempurnakan sholatnya yang tertinggal tadi kemudian salam dan setelah itu sujud sahwi (dua kali sujud) dan salam kembali.
Contohnya:
Apabila seseorang sholat Dzuhur, kemudian ia lupa dan langsung salam pada raka`at ke 3 (tiga), tiba-tiba ia ingat ataupun diingatkan orang lain, maka dia harus menyempurnakan raka`at ke 4 (empat) dan salam, lalu sujud sahwi (dua kali sujud) untuk seterusnya salam.
Jika orang tersebut sadar akan kekurangan raka`atnya tersebut DALAM JANGKA WAKTU YANG LAMA, maka ia harus mengulang sholatnya dari awal.
Kasus 3
Apabila seseorang meninggalkaan tasyahhud awal atau kewajiban lainnya dalam sholat KARENA LUPA, maka ia harus sujud sahwi (dua kali sujud) sebelum salam. Dan hal ini menjadi tidak mengapa baginya. Namun jika ia ingat bahwa ia belum membaca tasyahhud awal tersebut atau kewajiban lainnya itu sebelum berobah posisi-nya, maka hendaklah ia tunaikan (tasyahhud awal atau kewajiban lainnya tersebut). Dan hal demikian menjadi tidak mengapa baginya.
Jika ia ingat setelah perubahan posisi tetapi sebelum sampai pada posisi yang berikutnya, hendaklah ia kembali ke posisi yang pertama untuk menunaikan tasyahhud awal atau kewajiban lainnya tersebut.
Contohnya:
Apabila seseorang lupa tasyahhud awal dan ia langsung berdiri ke raka`at ke 3 (tiga) dengan sempurna maka ia tidak boleh kembali duduk dan wajib atasnya sujud sahwi sebelum salam. Apabila ia duduk tasyahhud tetapi lupa membaca tasyahhud, kemudian ingat sebelum berdiri, maka ia harus membaaca tasyahhud dan kemudian menyempurnakan sholatnya, TANPA SUJUD SAHWI. Demikian juga bila ia berdiri seblum tasyahhud kemudian ingat sebelum berdirinya sempurna, maka ia harus kembali duduk dan bertasyahhud untuk kemudian menyempurnakan sholatnya.
Catatan:
Tetapi para `Ulama menyatakan bahwa ia harus tetap sujud sahwi dikarenakan ia telah menambah satu gerakan yakni bangkit ketika hendak berdiri ke raka`at ke 3. Wallahu a`lam
Kasus 4
Apabila seseorang ragu dalam sholatnya apakah telah 2 raka`at atau sudah 3 raka`at dan ia TIDAK MAMPU menentukan yang paling rojih (kuat) diantara keduanya maka ia harus membangun di atas yaqin JUMLAH YANG TERKECIL kemudian sujud sahwi sebelum salam dan setelah itu ia memberi salam.
Contohnya:
Apabila ia sholat Dzuhur dan ragu pada raka`at ke 2 (dua), apakah ini masih berada di raka`at ke 2 (dua) atau sudah ke 3 (tiga) dan ia tidak mampu menentukan yang paling rojih (benar) diantara keduanya maka ia harus memilih yang 2 (dua) raka`at (jumlah terkecil). Kemudian ia sempurnakan sisanya lalu sujud sahwi (dua kali sujud) sebelum salam kemudian setelah itu memberi salam.
Kasus 5
Apabila seseorang ragu dalam sholatnya, apakah telah 2 (dua) raka`at atau sudah 3 (tiga) raka`at, namun walaupun demikian, ternyata ia MAMPU untuk menentukan yang paling rojih (benar), maka ia harus membangun diatas yang diyakininya itu (apakah yang 2 raka`at ataupun yang 3 raka`at) kemudian ia sempurnakan hingga salam lalu ia sujud sahwi kemudian salam kembali.
Contohnya:
Apabila seseorang sholat Dzuhur, kemudian ia ragu pada raka`at ke 2; apakah ia masih dalam raka`at ke 2 atau sudah masuk raka`at ke 3. Namun kemudian timbul keyakinan yang kuat dalam hatinya bahwa ia berada pada raka`at ke 3 maka ia harus membangun sholatnya di atas keyakinannya itu (raka`at ke 3) lalu ia sempurnakan sholatnya hingga salam, kemudian ia sujud sahwi untuk selanjutnya salam kembali.
Apabila keraguan datang kembali setelah ia selesai dari sholatnya, maka itu tidak dianggap atau ia tidak perlu memperdulikannya kecuali ia yakin sekali. Apabila ia sering ragu, maka keraguannya itu tidak dianggap atau ia tidak perlu memperdulikannya, karena itu hanyalah merupakan rasa was-was (dari syaiton).
Wallahu A’lam.
(Sumber Rujukan: RASAAI’IL FII AL-WUDHU’ WAL GHUSLI WA ASH-SHOLAH, Asy-Syaikh Muhammad Ibnu Sholih Al-’Utsaimin Rahimahullahu Ta`ala)

Sabtu, 09 Juli 2011

makalah ilmu kalam

0 komentar

Makalah ilmu kalam



STAI HITAM.jpg

Oleh:
Febby maulana

2011
ILMU KALAM
Pasal Satu
A.Pengertian Ilmu Kalam
Ilmu kalam dalam bahasa arab biasa diartikan sebagai ilmu tentang perkara Allahdan sifat – sifatnya.
Ilmu kalam disebut juga sebagai ilmuushuluddin atau ilmu tauhid ialah ilmu yang memabahas tentang aqoid diniyah dengan dalil yang kongkrit.
Al farabi mendefinisikan bahwa ilmu kalam membahas zat dan sifat Allah, mulai berkenaan dengan dunia sampai masalah sesudah mati yang berlandaskan doktrin islam.
Melihat dua definisi diatas tersebuta bahwa ilmu kalam bisajugabisa juga didefinisikan seabagai ilmu yang membahas berbagai masalah ketuhanan dengan mengggunakan argumentasi logika atau filsafat.
B.latar belakang ilmu kalam
Munculnya ilmu kalam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut perisyiwa pembunuhan khalifah ustman bin affan yang berbunut pada penolakan muawiyah atas kekhalifahan ali bin abi thalib. Dan persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan iapa yan bukan kafir dalam peristiwa tahkim (arbitrase).
Dalam sejarah islam di terangkan bahwa perpecahan memuncak saat terbunuhnya khalifah ustman bin affan dan terbentuklah beberapa golongan
Yaitu :
-       Murjiah: yaitu golongan yang menunda kedudukan seseorang yang bersengketa yakni ali dan muawiyah serta pasukanna masing – masing ke hari kiamat kelak
-       Syiah: yaitu golongan yang tetap mencintai ali dan keluarganya
-       Khawarij: yaitu golongan yang beranggapan bahwa semua orang yang menerima peristiwa tahkim adalah kafir.
C. kesimpulan
Pengertian ilmu kalam itu sama dengan ilmu tauhid ayakni ilmu yang membahas berbagai masalah ketuhanan denan menggunaan argumentasi logika dan filasafat.
Pasal dua
Kemuncuan ilmu kalam
Faktor Interenal yang menyebabkan munculnya ilmu kalam
Ilmu kalam bukan serta merta ilmu yang terbentuk sendiri. Namun, ilmu kalam itu timbul karena adnya faktor-faktor interen yang mendasarinya. beberapa faktor interen tersebut adalah:

1.Al-Qur’an

- Al-Qur’an mendebat orang-orang musyrikin  dan menolak tanggapan-tanggapan mereka.
- Al-Qur’an membantah pendirian orang-orang yang mengingkari agama.

“Dan mereka berkata: Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan  di Dunia saja. Kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu; mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja”. (A. 34 S 45 : Al Jatsiyah).
-       Al-Qur’an membantah paham orang yang mempertuhankan ‘isa. Allah s.w.t berfirman :

“ Sesungguhnya misal penciptaan Isa disisi Allah,adalah seperti penciptaan Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah bertitah kepadanya: “Jadilah”, maka jadilah dia”. (A. 59 S. 3: Ali Imron).
-       Al-Qur’an membantah paham yang mempersyerikatkan sesuatu dengan Allah dan memyembah berhala. Allah berfirman:

“sekiranya ada di dalam keduanya (langit dan bumi) beberapa Tuhan selain dari pada Allah, benar-benarlah bumi dan langit itu telah rusak”. (A.22. S. 21 : Al Anbiya)
-       Al-Qur’an membantah paham orang yang tidak percaya adanya hari bangkit
“Dan tidaklah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan yang serupa dengan itu? Benar, Dia berkuasa. Dan Dialah Maha pencipta lagi senantiasa mengetahui”. (A. 81 S. 36 Yasin)
-       Al-Qur’an  menolak adanya golongan yang tidak percaya dengan kerasulan Nabi, teristimewa serta tidak percaya akan kehidupan kemvbali di akhirat.
“Yaitu pada hari Kami gulung langit bagai menggulung lembaran-lembaran kertas, sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama. Begitulah Kami mengulanginya itulah suatu janji yang pasti Kami tepati, bahwasannya Kami benar-benar melaksanakannya”. (QS. Al-Anbiya : 104)

Dengan adanya golongan –golongan tersebut dan disamping adanya perintah Tuhan dalam ayat-ayat Al-Qur’an sudah barang tentu membuka jalan bagi kaum muslimin untuk membuka alasan kebenaran agamanya. Disamping menunjukkan kesalahan golongan yang menentang kepercayaan-kepercayaan itu.
2.Al-Hadits atau As-Sunnah
Selain beberapa factor yang dapt kita jumpai di al-Qur’an terdapat beberapa factor munculnya ilmu kalam di lihat dari sumber kedua agama Islam, yaitu :
Dalam hadits Nabi SAW banyak membicarakan masalah yang berkaitan dengan Ilmu Kalam. Diantaranya adalah hadist nabi yang menjelaskan tentang prediksi Nabi mengenai kemunculan bernagai golongan dalam Ilmu Kalam, diantaranya :
a.       HR. Abu Hurairah r.a : Ia mengatakan bahwa Rasululah bersabda, “Orang – orang Yahudi akan terpecah belah menjdi tujuh puluh dua golongan, dan Umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh golongan”.
b.      HR. Abdullah bin Umar : Ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “Akan menimpa umatku apa yang pernah menimpa Bani Israil. Bani Israil telah terpecah – pecah menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah belah menjadi menjdi 73 golongan. Semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan saja. “Siapakah mereka itu, wahai Rasulullah?’ Tanya para sahabat. Rasul menjawab, “Mereka adalah orang yang mengikuti jejakku dan sahabat – sahabatku. Kebenaran hadist yang berkaitan dengan perpecahan umat seperti tersebut diatas pada dasarnya merupakan prediksi Nabi dengan melihat yang tersimpan dalam hati para sahabatnya. Hal itu lebih dimaksudkan sebagai peringatan bagi para sahabat dan umat Nabi tentang bahayanya perpecahan dan pentingnya persatuan.
3.Perbedaan pendapat diantara kaum muslimin tentang agama dan munculah fase filosof yang memperkuat alasan-alasan perbedaan agama tersebut.
4.Soal-soal politik yang terjadi tehadap kaum muslimin setalah kematian Rasullullah. Karena, beliau tidak mengangkat seorangpun untuk menjadi penggantinya.

Faktor-faktor eksteren yang mempengaruhi munculnya ilmu kalam

Selain faktor interen yang datang dari kaum muslimin sendiri tedapat juga faktor eksteren atau faktor yang datang dari luar kaum muslimin yang mempengaruhi munculnya ilmu kalam, beberapa diantaranya ialah :
1.Banyaknya pemeluk agama islam yang mula-mula beragama Yahudi, Masehi dan agama diluar Islam lainnya, bahkan sebagian dari mereka pernah menjadi ulama.

2.Golangan islam yang dulu, memusatkan perhatiannya untuk menyiarkan Islam dan membantah alasan-alasan mereka yang memusuhi islam.

3.Para mutakalimin hendak membagi lawan-lawannya yang menggunakan filsafat terutama dalam segi Ketuhanan.

Kemunculan aliran-aliran islam
Masalah khilafah ialah masalah yang menyebabkan munculnya aliran – aliran kalam diantaranya yaitu:
A. MU’TAZILAH
· Metode Kalam Mu’tazilah
Dalam menemukan dalil untuk menetapkan akidah Islam, Mu’tazilah berpegang pada premis-premis logika, kecuali dalam masalah-masalah yang tidak dapat diketahui selain dengan dalil naql (teks). Kepercayaan mereka terhadap kekuatan akal hanya dibatasi oleh penghormatannya terhadap perintah syara’. Dengan kata lain, Mu’tazilah menempatkan rasio atau akal pada posisi yang tinggi dalam kehidupan beragama, sehingga mereka dikenal sebagai kelompok rasionalis dalam Kalam. Status akal yang tinggi di mata Mu’tazilah ini, setidaknya dilatari oleh dua hal penting berikut ini: pertama, manusia mempunyai kemampuan yang besar dengan akalnya; dan kedua, segala perbuatan manusia secara eskatologis tidak ada sedikit pun yang sia-sia. Kedua hal ini mendorong terwujudnya dominasi kuat metode rasional dalam kalam Mu’tazilah, dan pandangan yang antroposentris terhadap masalah akidah, terutama dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Ada lima doktrin dasar Mu’tazilah yaitu:
1. At-Tauhid (Kemahaesaan Tuhan)
Tauhid merupakan ajaran inti Mu’tazilah. Sebenarnya doktrin yang beresensikan pada pengesaan Tuhan ini merupakan prinsip dasar Islam, sehingga bukan menjadi karakteristik atau monopoli Mu’tazilah. Hanya saja mungkin karena Mu’tazilah merasa dirinya paling menegakkan Kemahaesaan Tuhan, dengan konsep-konsep filosofis dan menempatkan Tuhan bersifat unik, mereka mengklaim dirinya sebagai ahl at-tauhid. Esensi doktrin tauhid Mu’tazilah adalah memurnikan Kemahaesaan Tuhan, tidak keserupaan dengan makhluk, dan menolak segala bentuk pemikiran yang dapat membawa kepada faham syirik atau politeisme. Dalam konteks ini Mu’tazilah menolak pandangan yang menetapkan sifat Tuhan dalam arti sifat yang hipotastik atau berbeda dengan zat, karena hal demikian mengimplikasikan dalam diri Tuhan terdapat kejamakan yakni unsur zat yang disifat dan unsur sifat yang melekat pada zat. Menurut Mu’tazilah, faham seperti itu berimplikasi pada ta’addud al-qudama’, karena itu mesti dihindarkan. Dikarenakan yang bersifat qadim itu—kata Mu’tazilah—hanyalah Tuhan, maka ta’addud al-qudama’ membawa kepada faham yang mengakui Tuhan berunsur banyak, dan ini jelas termasuk syirik yang merupakan dosa terbesar yang tidak akan diampuni oleh Tuhan.
2. Al-‘Adl (Keadilan Tuhan)
Relevan dengan sifat integralitas al-Ushul al-Khamsah, doktrin pokok kedua (al-‘adl) tidak terpisah tetapi sangat berkaitan dengan at-tauhid. Kalau dengan at-tauhid Mu’tazilah bermaksud mensucikan diri Tuhan dari persamaan dengan diri makhluk, maka dengan al-‘adl mereka berkeinginan mensucikan perbuatan-Nya dari persamaan dengan perbuatan makhluk. Menurut Mu’tazilah, hanya Tuhan yang Mahaadil; Ia tidak bertindak dzalim, sedangkan pada makhluk terdapat perilaku dzalim. Dengan kata lain, kalau at-tauhid menegaskan keunikan diri Tuhan, maka al-‘adl menandaskan keunikan perbuatan Tuhan. Apabila disebut Tuhan Mahaadil, maka itu berarti bahwa semua perbuatan Tuhan adalah baik; Ia tidak berbuat buruk dan tidak melupakan apa yang wajib dikerjakan-Nya. Dengan demikian Tuhan tidak berdusta, tidak dzalim, tidak menyiksa anak-anak orang politeis lantaran dosa orang tua mereka, tidak menurunkan mukjizat bagi pendusta, tidak memberikan beban yang tidak dapat dipikul oleh manusia.
3. Al-Wa’ad wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman)
Berlainan dengan dua doktrin teologis sebelumnya, tiga butir lainnya dari lima doktrin Mu’tazilah hampir kurang pernah muncul dalam diskusi-diskusi teologis. Doktrin Mu’tazilah butir ketiga al-manzilah bain al-manzilatain, yang secara hisotoris sebagai kelanjutan dari diskusi teologis antara Mur’ji’ah dan Khawarij, adalah merupakan kelanjutan logis dari dua ajaran dasar Mu’tazilah sebelumnya. Sesuai dengan doktrin keadilan Tuhan yang Mu’tazilah tegakkan atas kebebasan berbuat manusia atau Qadariah di atas, Tuhan tidak dapat dikatakan adil kalau tidak memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan atau tidak menghukum orang yang berbuat jahat. Prinsip keadilan seperti ini jelas mengharuskan secara mutlak supaya orang yang berbuat jahat diberi hukumanan dan orang yang berbuat baik diberi pahala, sebagaimana dijanjikan oleh Allah; perbuatan dosa tidak diampuni tanpa bertaubat sebagaimana pahala tidak diharamkan terhadap orang yang berbuat baik.
4. Al-Manzilah bain al-Manzilatain.
Doktrin teologis al-manzilah bain al-manzilatain, yang secara harfiah berarti satu posisi diantara dua posisi, keterkaitan logisnya dengan ajaran Mu’tazilah tentang al-‘adl di atas. Bagi Mu’tazilah, muslim pelaku dosa besar bukanlah kafir, karena ia masih percaya kepada Tuhan dan nabi Muhamad; tetapi karena bukan pula mukmin, karena keimannya tidak lagi sempurna. Karena bukan mukmin maka ia tidak masuk surga, dan karena juga bukan kafir maka secara logis sebenarnynya ia juga tidak layak masuk neraka. Idialnya ia harus ditempatkan pada sebuah tempat yang posisinya berada diantara surga dan neraka, di luar surga dan neraka; inilah konsep keadilan yang semestinya. Akan tetapi karena di akhirat kelak, menurut Mu’tazilah, tiada tempat selain surga dan neraka, maka muslim pelaku dosa besar harus dimasukkan kedalam salah satu dari dua tempat itu. Dalam konteks ini erat kaitannya dengan konsep iman yang disampaikan oleh Mu’tazilah; karena bagi mereka iman bukan hanya pengakuan hati dan penuturan lisan, tetapi juga mewujud dalam bentuk perbuatan, maka muslim pelaku dosa besar bukanlah mukmin dan oleh karena itu tidak dapat masuk surga, dan satu-satunya tempat baginya adalah neraka. Tetapi rasanya kurang adil kalau mereka mendapat siksa seberat siksa orang kafir, karena itu meski masuk neraka, siksaan yang diterima olehnya lebih ringan daripada siksaan orang kafir. Dan inilah menurut mu’tazilah posisi tengah antara mukmin dan kafir di akhirat, baik di dunia maupun diakhirat, dan begitulah keadilan Tuhan.
5. Al-Amr bi al-Ma’ruf wa an-Nahy ‘an al-Munkar.
Sebenarnya doktrin perintah melaksanakan kebaikan dan meninggalkan kemungkaran bukan hanya kewajiban kaum Mu’tazilah, tetapi seluruh kaum muslimin. Hanya saja di kalangan umat Islam terjadi perbedaan dalam tingkat operasionalnya, dan Mu’tazilah memberikan penjelasan itu secara khas. Berlainan dengan Khawarij yang melaksanakan doktrin ini langsung melalui jalan kekerasan, Mu’tazilah terlebih dulu menempuh jalan seruan persuatif dan kalau cara yang pertama ini ternyata tidak efektif, baru kemudian boleh ditempuh dengan cara berikutnya yakni kekerasan seperti yang ditempuh oleh Khawarij.
Mu’tazilah dalam sejarahnya pernah mengimplementasikan doktrin dasarnya yang terkakhir ini melalui cara kekerasan. Jalan kekerasan itu mereka tempuh bukan saja ketika membela doktrin akidah Islam dari serangan kalangan out sider sepeti kaum zindiq zaman Abbasiah, yang bertujuan menghancurkan sendi-sendi Islam; tetapi jauga ketika memaksakan pandangannya tentang kemakhlukan al-Qur’an melalui kebijakan mihnah zaman al-Makmun kepada kalangan internal umat Islam, terutama ahli fikih dan ahli hadis.

B.KHAWARIJ
Golongan khawarij adalah golongan yang tidak menyetujui peristiwa tahkim.
Beberapa doktrin pokok ajaran khawarij yaitu:
a.       Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat islam.
b.      Khalifah tidak harus berasal dari keturunan arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi khalifah bila memenuhi syarat.
c.       Khalifah Ali adalah sah, tetapi setelah terjadi tahkim, ia dianggap telah menyeleweng.
d.      Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng.
e.       Manusia bebas menentukan perbuatanya bukan dari tuhan.
C.SYI’AH
Golongan yang berpendapat bahwa yang lebih berhak atas kekuasaan selepas wafatnya rasulullah ialah ali bin abi thalib r.a
Beberapa doktrin syi’ah yaitu:
a. Menurut Syi’ah Imamiah, Ali telah ditunjuk sebagai imam atau pemimpin masyarakat oleh Nabi Muhammad SAW.
b.Tuhan menciptakan kebaikan di alam semesta ini merupakan keadilan.
c.Setiap makhluk sekalipun telah diberi insting, Masih membutuhkan petunjuk.
Pasal tiga
Ruang lingkup pembahasan ilmu kalam
Adapun Ruang Lingkup Pembahasan dari Teology Islam (Ilmu Kalam) itu adalah :
  • Ilahiyyaat yaitu masalah ketuhanan
  1. Masalah ketuhanan membicarakan masalah :
  2. Dzat Tuhan
  3. Nama dan sifat Tuhan
  4. Perbuatan Tuhan.
  • Annubuwwaat yaitu masalah kenabiyan
  1. Masalah kenabian membicarakan :
  2. Kemukjizatan nabi-nabi
  3. Nabi-nabi terakhir
  • Assam’iyyaat yaitu hal-hal yang tak mungkin kita ketahui melainkan ada informasi dari nabi, yaitu berbicara masalah wahyu.
  1. Masalah sam’iyyaat meliputi antara lain :
  2. Masalah azab kubur
  3. Neraka
  4. Surga
  5. Dsb. Semua hal-hal yang tidak akan pernah kita ketahui kecuali ada berita dari para nabi dan RasulNya



Pasal Empat
KESIMPULAN
  1. Ilmu kalam  muncul karena adanya  faktor –faktor interen dan eksteren;
  2. Faktor interen yang melatarbelakangi munculnya imu kalam adalah :
    -  Al-Qur’an dan al- Hadits;
-  Perbedaan pendapat yang terjadi diantara kaum muslimin; serta
-  Persoalan politik.
  1. Faktor-faktor eksteren yang melatar belakangi munculnya ilmu kalam  adalah 
-       Banyaknya pemeluk agama Islam yang mula-mula Yahudi, Masehi dan lain-lain. Sehingga banyak buku-buku aliran dan golangongan Islam yang berpendapat jauh dari ajaran Islam  yang sebenarnya.
-       Golongan Islam yang dulu memusatkan perhatian untuk penyiaran Islam dan membantah alas an-alasan mereka yang memusuhi Islam.
-       Para mutakalimin menggunakan terpaksa mempelajari logika filsfat, terutama dari segi ketuhanan.



Daftar pustaka


makalah ulumul quran

0 komentar

MAKALAH ULUMUL QURAN


STAI HITAM.jpg

Oleh:
Febby Maulana

2011


BAB I
PENDAHULUAN


Di masa Rasulullah saw dan para sahabat, ulumul Qur’an belum dikenal sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri dan tertulis. Para sahabat adalah orang-orang Arab asli yang dapat merasakan struktur bahasa Arab yang tinggi dan memahami apa yang diturunkan kepada Rasulullah saw. Bila mereka menemukan kesulitan dalam memahami ayat-ayat tertentu, mereka dapat menanyakan langsung kepada Rasulullah saw.
Pada realitas kehidupan masyarakat muslim, perkembangan ulumul qur’an secara kuantitatif cukup banyak sekali. Selain perkembangan ulumul qur’an yang cukup banyak, juga banyak istilah-istilah yang digunakan, Untuk itu, pada pembahasan makalah ini, pemakalah akan menyoroti :
1)    Definisi Ulumul Qur’an
2)    Ruang Lingkup Pembahasan Ulumul Qur’an
3)    Cabang-Cabang Ulumul Qur’an
4)    Sejarah Turunnya dan Perkembangan Ulumul Qur’an
5)    Keadaan ulumul Qur’an pada Abad III H dan Abad IV H,
6)    Keadaan ulumul Qur’an pada Abad V dan VI H,
7)    Keadaan ulumul Quran pada Abad VII dan VIII H.

,










BAB II
PEMBAHASAN
A.DEFINISI ULUMUL QUR’AN
Kata ulum Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab, yaitu terdiri dari dua kata, yakni: ulumdan Al-Qur’an, kata ulum secara etimologis adalah pehaman, ma’rifah dan pengetahuan.Sedangkan kata Al-Qur’an secara etimologis artinya dengan qira’ah;bacaan. Sementaraitu, Al-Qur’an menurut terminologis memiliki definisi sebagai berikut:
1. Para teolog berpendapat Al-Qur’an adalah kalimat-kalimat yang maha bijaksana yangazali, yang tersusun dari huruf-huruf lafzhiyyah, dzihniyyah dan ruhiyyah
2. Para ulama ahli ushul fiqih menyatakan Al-Qur’an adalah kalam Allah yangditurunkan kepada Nabi Muhammad SAW mulai surat al-fatihah sampai akhir surat al-Nas
3. Ahmad yusuf al-Qasim menyatakan kalam Allah yang mengandung mu’jizat, yangditurunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang tertulis dengan mushaf, yangdiriwayatkan secara mutawatir, yang membacanya ibadah. Yang di awali dengan suratAl-fatihah sampai surat al-Nas
4. Syeh Ali al-shabuni memberikan definisi bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah yangmengandung mu’jizat, diturunkan kepada Nabi dan Rasul penghabisan dengan perantaramalaikat terpercaya, tertulis dalam mushaf yang dinukilkan kepada kita secara mutawatir,membacanya merupakan ibadah, yang dimulai dari surat Al-fatihah sampai surat Al-Nas.
B. RUANG LINGKUP PEMBAHASAN ULUMUL QUR’AN
Berkenaan dengan persoalan ini, M. Hasbi Ash-Shiddieqi berpendapat bahwa ruanglingkup pembahasan ulumul Qur’an terdiri atas enam hal pokok berikut ini.
1.Persoalan turunnya Al-Qur’an.
  a. Waktu dan tempat turunnya Al-Qur’an
  b. Sebab-sebab turunnya Al-Qur’an
  c.Sejarah turunnya Al-Qur’an
2. Persoalan sanad.
  a. Riwayat mutawatir 
  b. Riwayat ahad
  c. Riwayat syadz
  d. Macam-macam Qira’at Nabi
  e. Para perawi
  f. Cara-cara penyebaran riwayat
3. Persoalan Qira’at.
  b. Cara berhanti
  c. Cara memulai
  d. Imalah
  e. Bacaan yang dipanjangkan
  f. Bacaan hamzah yang diringankan
  g. Bunyi huruf yang sukun dimasukan pada bunyi sesudahnya
4. Persoalan kata-kata Al-Qur’an.
  a. Kata-kata Al-Qur’an yang asing.
  b. Kata-kata Al-Qur’an yang berubah-ubah harakat akhirnya.
  c. Kata-kata Al-Qur’an yang mempunyai makna serupa.
  d. Padanan kta-kata aAl-Qur’an.
  e. Isti’arah.
  f. Penyerupaan.
5. Persoalan makna-maknaAl-Qur’an yang berkaitan dengan hukum.
  a. Makna umum yang tetap dalam keumumannya.
  b. Makna umum yang dimaksudkan makna khusus.
  c. Makna umum yang maknanya dikhususkan sunnah.
  d. Nash.
  e. Makna lahir.
  f. Makna global.
  g. Makna yang diperinci.
  h. Makna yang tunjukan oleh konteks pembicaraan.
  i. Makna yang dapat dipahami dari konteks pembicaran.
  j. Nash yang petunjuknya tidak melahirkan keraguan.
  k. Nash yang muskil ditafsirkan karena terdapat kesamaran didalamnya.
  l. Nash yang maknanya tersembunyi karena suatu sebab yang terdapat pada kata itusendiri.
  m. Ayat yang menghapus dan yang dihapus.
  n. Yang didahulukan.
  o. Yang diahirkan.
6. Persoalan makna Al-Qur’an yang berpautan dengan kata-kata AL-Qur’an
  a. Berpisah.
  b. Bersambung.
  c. Uraian singkat.
  d. Uraian panjang.
  e. Uraian seimbang.
  f. Pendek.
C. CABANG-CABANG ULUMUL QUR’AN
a. Ilmu adab tilawat Al-Qur’an.
b. Ilmu tajwid.
c. Ilmu mawathim An-nuzul.
d. Ilmu tawarikh An-Nuzul.
e. Ilmu asbab An-Nuzul.
f. Ilmu Qira’at.
g. Ilmu gharib Al-Qur’an.
h. Ilmu wujuh wa An-Nazha’ir.
i. Ilmu Ma’rifat Al-muhkam dan Al-Mutasyabih.
j. Ilmu Nasikh Al-Mansuk.
k. Ilmu badai’u Al-Qur’an.
l. Ilmu I’jaz.
m. Ilmu tanasub.
n. Ilmu Aqsam.
o. Ilmu amtsal.
p. Ilmu jadal.


D. SEJARAH TURUNNYA DAN PERKEMBANGAN ULUMUL QUR’AN
Dimasa Rasulullah saw dan para sahabat, Ulumul Qur’an belum dikenal sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri dan tertulis. Para sahabat adalah orang-orang Arab Asli yang dapat merasakan struktur bahasa Arab yang tinggi dan memahami apa yang diturunkan kepada Rasul saw
Adapun mengenai kemampuan Rasul memahami al-Qur’an tentunya tidak diragukan lagi karena Dialah yang menerimanya dari Allah swt, dan Allah mengajarinya segala sesuatu.Ada tiga faktor yang menyebabkan Ulumul Qur’an tidak dibukukan pada masa Rasul dan sahabat, yaitu:Kondisinya tidak membutuhkan karena kemampuan mereka yang besar dan tidak memahami Al-Qur’an dan Rasul dapat menjelaskan maksudnya.Para sahabat sedikit sekali yang pandai menulis.Adanya larangan Rasul untuk menuliskan selain Al-Qur’an.Semuanya ini merupakan faktor yang menyebabkan tidak tertulisnya ilmu ini baik di masa Nabi maupun di zaman sahabat.
Di zaman Khalifah Utsman, wilayah Islam bertambah luas sehingga terjadi pembauran antara penakluk Arab dan bangsa-bangsa yang tidak mengetahui bahasa Arab. Keadaan demikian menimbulkan kekhawatiran sahabat akan tercemarnya keistimewaan bahasa Arab dari bangsa Arab. Bahkan kekhawatirannya akan terjadinya perpecahan di kalangan kaum muslimin tentang bacaan al-Qur’an selama mereka tidak memiliki sebuah al-Qur’an yang menjadi standar bagi bacaan mereka. Untuk menjaga agar tidak terjadinya kekhawatiran itu, disalinlah dari tulisan-tulisan aslinya sebuah al-Qur’an yang disebut Mushhaf Imam. Dengan terlaksananya penyalinan ini maka berarti Utsman etelah meletakkan dasar Ulumul Qur’an yang disebut Rasm al-Qur’an atau Ilm al-Rasm al-Utsman.
Di masa Ali terjadi perkembangan baru dalam ilmu al-Qur’an. Karena melihat banyaknya umat Islam yang berasal dari bangsa non-Arab, kemerosotan dalam bahasa Arab, dan kesalahan pembacaan al-Qur’an, Ali menyuruh Abu al-Aswad al-Duali (q. 69 H.) untuk menyusun kaidah-akidah bahasa Arab. Hal ini dilakukan untuk memelihara bahasa Arab dari pencemaran dan menjaga al-Qur’an dari keteledoran pembacanya. Tindakan Khalifah Ali ini dianggap perintis bagi lahirnya ilmu nahwu dan I’rab al-Qur’an.
Setelah berakhirnya zaman Khalifah yang Empat, timbul zaman Bani Umayyah. Kegiatan para sahabat dan tabi’in terkenal dengan usaha-usaha mereka yang tertumpu pada penyebaran ilmu-ilmu al-Qur’an melalui jalan periwayatan dan pengajaran secara lisan, bukan, bukan melalui tulisan dan catatan. Kegiatan-kegiatan ini dipandang sebagai persiapan bagi masa pembukuannya.

E. KEADAAN ILMU-ILMU AL-QUR’AN PADA ABAD III H DAN ABAD IV H
Pada abad III H selain Tafsir dan Ilmu Tafsir, para Ulama mulai menyusun pula beberapa Ilmu Al-Qur’an, ialah:
Ali bin Al-Madani (wafat tahun 234 H) menyusun Ilmu Asbabun Nuzul.
Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam 224 H menyusun Ilmu Nasikh wal Mansukh dan Ilmu Qiraat.
Muhammad bin Ayyub AL-Dhirris (wafat tahun 294 H) menyusun Ilmu Makki wal Madani
Muhammad bin Khalaf Al-Marzuban (wafat tahun 309 H) menyusun kitab Al-Hawi fi Ulumil Quran (27 juz).
Pada abad IV H mulia disusun Ilmu Garibul Quran dan beberapa kitab Ulumul Quran dengan memakai istilah Ulumul Quran dengan memakai istilah Ulumul Quran. Di antara Ulama yang menyusun Ilmu Garibul Quran dan kitab-kitab Ulumul Quran pada abad IV ini, ialah:
 Abu Bakar Al-Sijistani (wafat tahun 330 H) menyusun Ilmu Garibul Quran.
Ø
Ø Abu Bakar Muhammad bin Al-Qasim Al-Anbari (wafat tahun 328 H) menyusun kitab Ajaibu Ulumil Quran. Di dalam kitab ini, ia menjelaskan atas tujuh huruf, tentang penulisan Mushaf, jumlah bilangan surat-surat, ayat-ayat dan kata-kata dalam Al-Qur’an
 Abul hasan Al-Asy’ari (wafat tahun 324 H) menyusun kitab Al-Mukhtazan fi Ulumil Quran
Ø
 Abu Muhammad Al-Qassab Muhammad bin Ali Al-Karakhi (wafat tahun 360 H) menyusun kitab:
Ø
 Muhammad bin Ali Al-Adwafi (wafat tahun 388 H) menyusun kitab Al-Istgna’ Fi Ulumil Quran (20 Jilid).
Ø

F. KEADAAN ILMU-ILMU AL-QUR’AN PADA ABAD V DAN VI H
Pada abad V H mulai disusun Ilmu I’rabil Quran dalam satu kitab. Di samping itu, penulisan kitab-kitab dalam Ulumul Quran masih terus dilakukan oleh Ulama pada masa ini.
Adapun Ulama yang berjasa dalam pengembangan Ulumul Quran pada abad V ini, antara lain ialah:
Ø Ali bin Ibrahim bin Sa’id Al-Khufi (wafat tahun 430 H) selain mempelopori penyusunan Ilmu I’rabil Quran, ia juga menyusun kitab Al-Burhan Fi Ulumil Quran. Kitab ini selain menafsirkan Al-Quran seluruhnya, juga menerangkan Ilmu-ilmu Al-Quran yang ada hubungannya dengan ayat-ayat Al-Quran yang ditafsirkan. Karena itu, ilmu-ilmu Al-Quran tidak tersusun secara sistematis dlam kitab ini, sebab ilmu-ilmu Al-Quran diuraikan secara perpencar-pencar, tidak terkumpul dalam bab-bab menurut judulnya. Namun demikian, kitab ini merupakan karya ilmiah yang besar dari seorang Ulama yang telah merintis penulisan kitab tentang Ulumul Quran yang agak lengkap.
 Abu ‘Amar Al-Dani (wafat tahun 444 H) menyusun kitab Al-Taisir Fil Qiroatis Sab’I dan kitab Al-Muhkam Fi al-Nuqoti.
Ø
Pada abad VI H, di samping terdapat Ulama yang meneruskan pengembangan Ulumul Quran, juga terdapat Ulama yang mulai menyusun Ilmu Mubhamatil Quran. Mereka itu antara lain, ialah:
 Abul Qasim bin Abdurrahman
Ø Al-Suhaili (wafat tahun 581 H) menyusun kitab tentang Mubhamatul Quran, menjelaskan maksud kata-kata dalam Al-Quran yang tidak jelas apa atau siapa yang dimaksudkan. Misalnya kata rajulun (seorang lelaki) atau malikun (seorang raja)


 Ibnul Jauzi (wafat tahun 597 H) kitab Fununul Afnan Fi Ajaibil Quran
Ø
 Abul Hasan Al-Asy’ari (wafat tahun 324 H) menyusun kitab Al-Mukhtazan fi Ulumil Quran.
Ø
 Abu Muhammad Al-Qassab Muhammad bin Ali Al-Karakhi (wafat tahun 360 H)
Ø
 Muhammad bin Ali Al-Adwafi (wafat tahun 388 H) menyusun kitab Al-Istgna’ Fi Ulumil Quran (20 Jilid).
Ø

G. KEADAAN ILMU-ILMU AL-QURAN PADA ABAD VII DAN VIII H
Pada abad VII H, ilmu-ilmu AL-Quran terus berkembang dengan mulai tersusunnya Ilmu Majazul Quran dan terus tersusun pula Ilmu Qiraat. Diantara Ulama abad VII yang besar perhatiannya terdapat Ilmu-ilmu Al-Quran, ialah:
Ibnu Abdis Salam yang terkenal dengan nama Al-Izz (wafat tahun 660 H) adalah pelopor penulisan: Ilmu Majazul Quran dalam satu kitab.
Alamuddin Al-Sakhawi (wafat tahun 643 H) menyusun Ilmu Qiraat dalam kitabnya Jamalul Qurra ‘Wa Kamalul Iqra’,
Abu Syamah (wafat tahun 655 H) menyusun kitab Al-Mur-syidul Wajiz Fi Ma Yata’allaqu bil Quran.
Pada abad VIII H, muncullah beberapa Ulama yang menyusun ilmu-ilmu baru tentang Al-Quran, sedang penulisan kitab-kitab tentang Ulumul Quran masih tetap berjalan terus. Di antara mereka ialah:
Ibnu Abil Isba’ menyusun Ilmu Badai’ul Quran, sesuatu ilmu yang membahas macam-macam badi’ (keindahan bahasa dan kandungan Al-Quran) dalam Al-Quran.
Ø Ibnul Qayyim (wafat tahun 752 H) menyusun Ilmu Aqsamil Quran, suatu ilmu yang membahas tentang sumpah-sumpah yang terdapat dalam Al-Quran.
Ø Najmuddin Al-Thufi (716 H) menyusun Ilmu Hujajil Quran atau Ilmu Jadalil Quran, suatu ilmu yang membahas tentang bukti-bukti/dalil-dalil (argumentasi-argumentasi) yang dipakai oleh Al-Quran untuk menetapkan sesuatu.
 Abul Hasan Al-Mawardi menyusun Ilmu Amtsil Quran, suatu
Ø ilmu yang membahas tentang perumpamaan-perumpamaan yang terdpat di dalam Al-Quran.
 Badruddin Al-Zarkasyi (wafat tahun 794 H) menyusun ktiab
Ø Al-Burhan Fi Ulumil Quran. Kitab ini telah diterbitkan oleh Muhammad Abul Fadl Ibrahim (4 juz).
Di masa Rasulullah saw dan para sahabat, Ulumul Quran belum dikenal sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri dan tertulis. Di zaman khalifah Utsman, wilayah Islam bertambah luas sehingga terjadi pembauran antara penakluk Arab dan bangsa-bangsa yang tidak mengetahui bahasa Arab.
Dimasa Ali terjadi perkembangan baru dalam Ilmu Al-Quran. Karena melihat banyaknya umat Islam yang berasal dari bangsa non-Arab, kemerosotan dalam bahasa Arab, dan kesalahan pembacaan Al-Quran. Ali menyuruh Abu al-Aswad al-Dauli (wapat tahun 69 H). untuk menyusun kaidah-kaidah bahasa Arab.
Ulumul Quran memasuki masa pembukuannya pada abad ke-2 H. Para ulama memberikan prioritas perhatian mereka kepada Ilmu Tafsir karena fungsinya sebagai Umm al-Uum (induk ilmu-ilmu al-Quran) para penulis pertama tafsir dalam tafsir adalah Syu’bah Ibnu al-Hajjaj (w.160 H), Sofyan Ibnu ‘Uyaynah dan Wali ‘Ibnu al-Jarrah
Pada abad ke-3 lahir ilmu asbab al-nuzul, ilmu nasikh dan mansukh, ilmu tentang ayat Makkiah dan Madaniah, qiraat, I’rab dan istinbath. Pada abad ke-4 lahir ilmu gharib al-Qur’an abad ke-5 lahir ilmu Amtsal Quran, abad ke-6 disamping banyak ulama yang melanjutkan pengembangan ilmu-ilmu al-Quran yang telah ada lahir pula ilmu mabhat al-Quran ilmu ini menerangkan lafal-lafal al-Quran yang maksudnya apa dan siapa tidak jelas
Pada abad eke-8 muncul ulama yang menyusun ilmu-ilmu tentang al-Quran, Ibnu Abi al-Ishba’ tentang badai al-Quran, yang membahas macam-macam, keindahan bahasa dalam al-Quran yang membahas tentang sumpah-sumpah al-Quran.
Pada abad ke-9, Jalaluddin al-Suyuthi menyusun dua kitab, al-Tahbir fi ‘Ulum al-Tafsir dan al-Itqan fil ‘Ulum al-Quran. Kedua kitab ini puncak karang-mengarang dalam ulum al-Quran setelah abad ini hampir tidak adalagi yang mampu melampui batas karyanya. Ini terjadi sebagai akibat meluasnya sifat taklid.
Sejak penghujung abad ke-13 H. sampai saat ini perhatian para ulama terhadap penyusunan kitab-kitab Ulumul Quran bangkit kembali. Kebangkitan ini bersamaan dengan masa kebangkitan modern dalam ilmu-ilmu agama lainnya.






BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Sejarah Pertumbuhan Ulumu Qur'an diantaranya :
a. Ulumul Qur'an pada masa Nabi dan Sahabat
Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya sangat mengetahui makna-makna Al-Qur'an dan ilmu-ilmunya, sebagaimana pengetahuan para ulama sesudahnya. Hal itu disebabkan karena Rasulullah yang menerima wahyu dari sisi Allah SWT, juga mendapatkan rahmat-Nya yang berupa jaminan dari Allah bahwa kalian pasti bisa mengumpulkan wahyu itu ke dalam dada beliau.
Setiap Rasulullah selesai menerima wahyu ayat Al-Qur'an, beliau menyampaikan wahyu itu kepada para sahabatnya. Rasulullah SAW menjelaskan tafsiran-tafsiran ayat Al-Qur'an kepada mereka dengan sabda, perbuatan, dan persetujuan beliau serta dengan akhlak-akhlak dan sifat beliau. Para sahabat dahulu tidak / belum membutuhkan pembukuan Ulumul Qur'an itu adalah karena hal-hal sebagai berikut:
a) Mereka terdiri dari orang-orang Arab murni yang mempunyai beberapa keistimewaan, antara lain:
Ø Mempunyai daya hafalan yang kuat
Ø Mempunyai otak cerdas
Ø Mempunyai daya tangkap yang sangat tajam
Ø Mempunyai kemampuan bahasa yang luas terhadap segala macam bentuk ungkapan, baik prosa, puisi, maupun sajak.

b) Kebanyakan mereka terdiri dari orang-orang yang Ummi, tetapi cerdas.
c) Ketika mereka mengalami kesulitan, langsung bertanya kepada Rasulullah SAW.
d) Waktu dulu belum ada alat-alat tulis yang memadai.

b. Perintis Dasar Ulumul Qur'an dan pembukuannya
a) Perintis Dasar Ulumul Qur'an
Setelah periode pertama berlalu, datanglah masa pemerintahan kahlifah Utsman bin Affan. Negara-negara Islam pun telah berkembang luas. Orang-orang Arab murni telah bercampur baur dengan orang-orang asing yang tidak kenal bahasa Arab. Percampuran bangsa dan akulturasi kebudayaan ini menimbulkan kekhawatiran-kekhawatiran. Karena itu, Kholifah Utsman bin Affan memerintahkan
Kaum muslimin agar seluruh ayat-ayat Al-Qur'an yang telah dikumpulkan pada masa Kholifah Abu Bakar itu dikumpulkan lagi dalam satu mushhaf, kemudian di kenal dengan nama Mushhaf Utsman. Dengan usahanya itu, berarti Kholifah Utsman bin Affan telah meletakkan dasar pertama, yang kita namakan Ilmu Rasmil Qur'an atau Rasmil Utsmani.

b) Pembukuan Tafsir Al-Qur'an
Setelah dirintis dasar-dasar Ulumul Qur'an, kemudian datanglah masa pembukuan / penulisan cabang-cabang Ulumul Qur'an. Cita-cita yang pertama kali mereka laksanakan ialah pembukuan Tafsir Al-Qur'an. Sebab, tafsir Al-Qur'an dianggap sebagai induk dari ilmu-ilmu Al-Qur'an yang lain.